PENDAHULUAN
Selama seratus
tahun sejarah peramalan gempa bumi, peran seismologi tidak bisa dikesampingkan,
karena tidak hanya menyimpan informasi yang luas tentang berbagai pertanda
gempa bumi, melainkan juga menciptakan jaringan-jaringan lokal
dari titik-titik pemantauan dengan parameter yang berbeda-beda pada berbagai
medium geologi di sekitar zona sumber gempa bumi. Namun demikian, sampai dengan
saat ini para ahli seismologi belum membuahkan hasil yang memuaskan dalam
memprediksi terjadinya gempa bumi.
Geller1) seorang ahli seismologi mengatakan bahwa pada prinsipnya
gempabumi tidak dapat diprediksi. Geller berpendapat bahwa dalam proses
persiapan akan terjadinya gempabumi, pada sumber akan mengalami keadaan yang random
(acak), dengan berbagai pengaruh dari luar. Hal inilah yang menyebabkan
adanya pesimistis dari para ahli gempabumi untuk meneliti precursor
(tanda-tanda) terjadinya gempabumi.
Namun dalam sepuluh
tahun terakhir, pernyataan Geller di atas mulai mendapatkan tanggapan dari para
ahli geofisika. Beberapa prekursor gempabumi mulai dapat diamati. Dari hasil
risetnya, Sobolev2) menawar-kan
suatu prekursor gempa berdasarkan kemunculan derau (noise) mikroseismik
beberapa hari sebelum terjadinya gempabumi kuat.
Hasanov3) mencatat adanya perubahan komposisi geokimia fluida di stasiun
pengamatan seismik Azerbaijan. Fenomena itu muncul sebelum terjadinya gempabumi
kuat di Indonesia (8,9 SR) pada tanggal 26 Desember 2004 pada jarak sekitar
6000 km dari episenter. Hasanov juga mengamati adanya fenomena perubahan hydro-geo-chemical
di stasiun pengamatan sebelum terjadinya gempabumi kuat dan dalam
(M>6SR, h>100 km), dimana sumbernya terletak di zona seismik Hindu Kush
di jalur tektonik Alpine-Himalaya.
Beberapa fenomena
lainnya juga telah dikenali sebagai prekursor gempabumi, misalnya perubahan
medan magnet, medan elektromagnetik, medan listrik, medan gravitasi, dan
sebagainya.
Perubahan medan
gravitasi sebagai precursor gempabumi telah mulai diperkenalkan oleh para
peneliti. Khalilov4) 2009
menemukan fenomena menarik menjelang terjadinya gempabumi kuat. Kira-kira
seminggu sebelum terjadinya gempabumi, terdapat penurunan nilai g, yang
kemudian diikuti dengan kenaikan secara drastis. Hal ini ditemui hampir di
semua kejadian gempabumi kuat di seluruh dunia, baik yang terjadi di Jepang,
Pakistan, China, Indonesia, dll.
Dijelaskan bahwa
beberapa hari menjelang terjadinya gempabumi besar, pada zona hiposenter
terdapat stress yang sangat besar. Stress ini akan menjalar ke segala arah
sebagai gelombang stress, yang dalam terminologi ini disebut dengan gelombang
tektonik, karena gelombang ini menjalar melalui medium kerak bumi. Gelombang
tektonik mempunyai sifat mirip dengan gelombang seismik, namun mempunyai
panjang gelombang sangat panjang (ratusan sampai ribuan km) dengan kecepatan
rambat sangat lambat5). Gambar
1 menunjukkan adanya precursor gempabumi berdasarkan perubahan medan gravitasi.
Gambar 1. Variasi gravitasi sebelum
gempabumi di Taiwan, 26 Desember 2006 (Khalilov,2009).
Suatu
jaringan global untuk memprediksi gempa-bumi yang terdiri dari beberapa stasiun
pengamatan dan bergabung ke dalam suatu jaringan tunggal saat ini telah ada,
yaitu Jaringan Stasiun Atropatena yang berada di berbagai negara, antara lain:
Azerbaijan, Pakistan, Indonesia, Turkey, dan Ukraina.
TINJAUAN
PUSTAKA
Metode Atropatena
Atropatena
adalah sensor perubahan medan gravitasi, menggunakan prinsip Torsion Balance
mirip pada Eksperimen Cavendish (lihat Gambar 2). Perangkat ini terdiri atas
dua batang keseimbangan dengan beban kecil pada ujungnya (2) digantung pada
benang, dan batang terletak saling tegak lurus. Di antara dua beban kecil,
ditempatkan beban besar (3) pada ujungnya. Adapun beban (4) tergantung pada tuas
elastis khusus dan dapat bergerak secara vertikal selama terjadi perubahan
medan gravitasi6).
Gambar. 2. Skema konstruksi detektor Atro-patena-ID.
Keterangan: (1)
Bejana vakum di mana detektor ditempatkan;
(2) Batang keseimbangan dengan beban kecil pada ujungnya,
(3) Beban besar;
(4) Beban yang digantungkan pada tuas elastis;
(5) pemancar laser;
(6) matriks optik sensitif untuk sensor horizontal,
(7) matriks optik sensitif untuk sensor vertikal (Khain dan
Khalilov, 2008).
Seperti
terlihat dalam skema (Gambar 2), pada batang keseimbangan (2) dan pada tuas
sensor vertikal (4) terdapat cermin kecil yang memantulkan sinar laser ke tiga
komponen arah, dan diterima di dua matriks optik horizontal (6) dan satu matriks
optik vertikal. Sinyal digital ini kemudian ditransformasi-kan ke blok khusus
pada komputer dan direkam dalam format khusus. Perangkat lunak yang
dikembangkan memungkinkan untuk secara otomatis merekam informasi dalam bentuk
file terpisah untuk periode waktu tertentu yang ditentukan oleh operator.
Semua
sistem sensitif ini ditempatkan di dalam bejana kaca khusus (1), yang
terisolasi dari lingkungan karena berada dalam ruang vakum (10-4MPa).
Di
samping itu juga ditempatkan beberapa sensor suhu dengan akurasi 0,1°C,
digunakan untuk mengendalikan blok suhu sistem. Di ruangan tempat Atropatena
berada, dijaga suhu permanen dengan ketelitian ± 1° C. Untuk melindungi dari
gerakan mekanik dan untuk isolasi panas yang lebih baik, maka sistem sensitif ini
ditutup dengan plastik transparan, yang memungkinkan untuk secara visual
melihat kinerja sistem (lihat Gambar 2). Dalam stasiun Atropatena juga dipasang
sensor seismik digital menggunakan sensor akselerasi tiga komponen dan datanya
direkam secara kontinu. Perekaman
variasi medan gravitasi dari ketiga sensor di atas dilakukan dengan waktu
cuplik satu sekon. Dalam hal ini digunakan sinar laser merah dengan panjang
gelombang 645 nm dan matriks optik khusus untuk pencatatan pergeseran titik
laser dengan ketelitian sudut deviasi 0,1 derajat. Seluruh proses perekaman
berlangsung dalam bentuk digital secara otomatis, tanpa campur tangan operator.
Prekursor Gempabumi Berdasarkan Variasi Medan Gravitasi
Penyebab utama adanya variasi medan gravitasi sebelum terjadinya
gempabumi kuat adalah adanya gelombang tektonik. Gelombang tektonik adalah
gelombang stress yang dihasilkan oleh sumber gempa dalam proses persiapannya7). Gelombang tektonik muncul pada beberapa hari menjelang
terjadinya gempabumi, dan menjalar ke segala arah melalui medium kerak bumi.
Gelombang tektonik akan menyebabkan variasi densitas terhadap
waktu, yang terjadi pada massa kerak bumi sebagai akibat dari perubahan kondisi
stress massa batuan. Variasi densitas terhadap waktu ini akan menyebabkan
adanya variasi medan gravitasi di atas permukaan bumi. Stasiun Atropatena
mencatat variasi medan gravitasi ini pada 3 komponen arah (X, Y, dan Z).
Dengan demikian, prediksi gempabumi dapat dilakukan dengan
melihat variasi medan gravitasi yang dicatat oleh alat Atropatena. Atropatena
mencatat sinyal-sinyal yang memiliki keteraturan yang pasti dan berkorelasi
tinggi dengan gempabumi kuat di berbagai negara.
Sifat gelombang tektonik mirip dengan gelombang seismik, yaitu
memiliki komponen longitudinal (P) dan transversal (S). Penjalaran gelombang
tektonik longitudinal akan menyebabkan perubahan densitas batuan pada lapisan
kerak bumi di sepanjang arah gerakan gelombang.
Terjadinya kompresi dan regangan pada lithosfer akan
membangkitkan suatu gelombang kondensasi yang menyebabkan kenaikan dan penurunan
densitas batuan di bawah stasiun Atropatena. Akibatnya pada stasiun Atropatena akan
merekam perubahan medan gravitasi komponen Z, seperti yang ditunjukkan dalam
model (Gambar 3a).
Adapun penjalaran gelombang tektonik transversal akan
menyebabkan perubahan densitas batuan pada lapisan lithosfer yang arahnya tegak
lurus terhadap arah penjalaran gelombang. Gambar 43 adalah variasi kompresi dan
regangan pada lithosfer di bidang di mana gelombang transversal akan
menyebabkan kenaikan dan penurunan densitas batuan dari arah tegak lurus
perambatannya.
Akibatnya, stasiun Atropatena akan merekam perubahan medan
gravitasi dalam dua arah horisontal yang saling tegak lurus, seperti yang
ditunjukkan dalam model (Gambar 3b).
Gambar 3a. Model
pengaruh gelombang tektonik longitudinal pada perubahan densitas batuan dan
variasi medan gravitasi yang terekam pada stasiun Atropatena (1-5),
Dengan demikian, penjelasan secara fisika dari pengaruh
gelombang tektonik terhadap perubahan medan gravitasi telah dapat dijelaskan
secara logis. Hal inilah yang dapat menjelaskan adanya prekursor gempabumi
berdasarkan perubahan medan gravitasi.
Stasiun Atropatena-ID (STASIUN YOGYAKARTA)
Stasiun Atropatena-ID terletak di salah satu ruangan Gedung
PIP2B (Pusat Informasi Pengembangan Permukiman dan Bangunan), yang berlokasi di
Jl. Kenari, Yogyakarta (lihat Gambar 5).
Sebagai persyaratan minimal dari stasiun Atropatena harus
dilengkapi dengan fasilitas pasokan listrik (power supply) yang stabil,
generator listrik (genset) cadangan, UPS (Uninterrupted Power Supply),
AC, dan jaringan internet.
Gambar 4. Gedung Pusat Informasi dan Pengembangan Permukiman dan
Bangunan (PIP2B)
di Jl. Kenari, Yogyakarta, dimana lokasi station
Atropa-tena-ID ditempatkan.
Stasiun
Atropatena-ID merupakan salah satu stasiun yang tergabung dalam GNFE (Global
Network for the Forecasting of Earthquakes) yang berpusat di Istanbul
(Turkey). Gambar 5 adalah alat Atropatena-ID yang ada di Yogyakarta.
Hasil Prediksi Perdana Atropatena
Dapat dicatat di sini bahwa hasil prediksi gempabumi yang
pertama kali dilakukan oleh GNFE dengan alat Atropatena telah terbukti
sepenuhnya benar. Pada tanggal 10 Agustus 2009, GNFE mengirimkan surat ke
Kedutaan Besar Jepang di Azerbaijan yang isinya menyampaikan prediksi gempa
yang akan terjadi di Jepang. Surat itu mengatakan bahwa "GNFE
memperingatkan akan adanya dua gempabumi kuat yang diperkirakan terjadi pada
periode 10-18 Agustus 2009 dengan M > 6 SR di daerah selatan Honshu"
(Wahyudi, 2009).
Sesuai dengan Piagam GNFE, surat peringatan tersebut telah
ditembuskan ke setiap lembaga anggota GNFE, termasuk kepada Pemerintah
Indonesia dan Pemerintah Provinsi DIY, Pusat Riset Gempa bumi Pakistan
(Islamabad), Presidium the Internasional Academy of Science (Innsbruck),
Almaty Departement of Emergency Situation (Almaty) serta beberapa
organisasi lain.
Pada tanggal 12 Agustus 2009, sebuah gempabumi kuat berkekuatan
6,7 terjadi di wilayah Jepang Selatan Honshu, dan pada tanggal 17 Agustus 2009,
sebuah gempabumi berkekuatan 6,4 juga terjadi di Jepang, yaitu di baratdaya
Kepulauan Ryuku (lihat Gambar 6).
Dengan demikian telah dapat dicatat dalam sejarah keberhasilan
memprediksi gempa bumi jangka pendek oleh alat Atropatena, yang bekerja
berdasarkan perubahan medan gravitasi.
Gambar 6. Peta prediksi gempabumi dari
GNFE dengan kode peramalan E109 (gempa bumi Jepang).
0 komentar:
Posting Komentar